Postmodernisme
Postmodernisme menjadi istilah populer sebagai aliran yang “rajin” mengajukan protes kepada filsafat. Hermeneutika muncul untuk menjembatani kritik Postmodernisme terhadap filsafat.
Filsafat modern yang dibawa oleh Descartes dianggap melahirkan berbagai dampak buruk untuk dunia di kemudian hari. Filsafat modern, bagaimanapun telah membawa dunia kepada perubahan yang sangat besar. Namun, di sisi lain ia juga mendapat kecaman dari berbagai pihak, khususnya aliran Postmodernisme. Pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan obyektisasi alam dan eksploitasi alam secara besar-besaran dan semena-mena. Akibtnya banyak pihak yang mengecam tindakan ini. Zaman modern yang selalu diasumsikan dengan kemajuan, ilmu pengetahuan, Hi-Tech, eksploitasi, rasionalitas dan lain sebagainya, ternyata tidak dapat diterima begitu saja oleh sebagian yang lain.
Istilah Postmodernisme dipopulerkan oleh para seniman, penulis, dan kritikus sastra yang menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme berhenti dalam birokrasi. Dalam bidang filsafat, Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Penulis I. Bambang Sugiharto membagi gerakan postmodern yang ingin merevisi paradigma modern. Salah satu gerakan tersebut berkaitan dengan dunia sastra dan linguistik. Bahasa dan sastra adalah salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi objek utama dalam Hermeneutika. Hermeneutika menurut Gadamer adalah sebuah refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk pemahaman itu. Menurutnya, bahasa adalah cara yang khas dari manusia di dunia ini.
Hermeneutika tidak berkaitan dengan nilai kebenaran ilmu, tetapi semata-mata melihat bagaimana terjadinya dan bekerjanya pola pemahaman ilmiah. Hermeneutika adalah penggalian reflektif keterbatasan setiap klaim tentang pengetahuan dan pemahaman atas relativitas kultural dan historis dari setiap bentuk wacana yang dihasilkan manusia. Hermeneutika mengubah sudut pandang dari “melihat” ke “mendengar” sang Ada. Kata “mendengar” mengacu pada mendengarkan bahasa. Bahasa merupakan media manusia untuk berhubungan ataupun mengungkapkan sesuatu.
Menurut sang penulis, manusia dapat selalu menjembatani segala perbedaan melalui dialog yang mencari persetujuan dan pengertian bersama.
Filsafat Telah Mati…
Kecaman demi kecaman serta kelemahan-kelemahan filsafat terus dikuak oleh kaum Postmodern. Isu tentang berakhirnya filsafat ini berkaitan dengan istilah dekonstruksi yang dihasilkan dari konstruksi filsafat itu sendiri. Derida mempersoalkan bahwa filsafat tidak konsisten, yang tercermin dari teks-teks filsafat itu sendiri. Sebagi tulisan, filsafat bersifat tekstual yang maknanya bergantung pada teks-teks lain. Derida menunjukkan bahwa upaya dekonstruktif akan menunjukkan kelemahan-kelemahan dan kepincangan dalam teks-teks filsafat. Epistemologi, salah satu genre filsafat yang menjadi tumpuan bagi ilmu pengetahuan dianggap mengandung banyak kelemahan dan mengakibatkan dampak buruk. Implikasi dari epistimologi modern adalah lepasnnya subyek dari dunia, munculnya rasionalitas, eksploitasi dan atomisme.
Sudah menjadi ciri khas, filsafat ingin memecahkan “segala” persoalan yang direduksi ke dalam suatu sistem metafor. Metafor di sini diasumsikan sebagai “bahasa” atau “kosa kata”. Yang menjadi masalah adalah sifat filsafat yang mengacu pada segala hal yang bersifat final dan universal, yaitu dengan menggunakan satu cara ungkap saja yang benar. I. Bambang Sugiharto yakin bahwa metafor dapat digunakan sebagai perspektif alternatif untuk memandang filsafat dari sudut lain. Sehingga klaim tentang kematian filsafat tidak mesti berlaku (hal. 163).
Metafor dianggap sebagai inti dari segala kegiatan yang berkaitan dengan bahasa. Masalahnya, selama ini filsafat menggunakan bahasa sebagai sarana berfikir filosofis yang logis dan argumentatif keras. Berbeda dengan metafor yang terkesan retorika belaka. Namun, di satu sisi bagi Rorty batas antara sastera dan filsafat, kabur. Salah satu alasannya adalah karena filsafat saat ini yang berkonstruksi final dan di asumsikan secara otonom, memiliki ciri yang sama dengan teks sastra. Bahasa mengalami perubahan fokus pada perkembangannya dalam filsafat. Kalau dulu berfokus pada “logika,” kemudian pada “kehidupan” lalu pada bidang sastra khususnya “metafor”. Metafor sendiri oleh penulis buku ini, dibagi 2, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Dalam arti luas metafor adalah kondisi dasar antropologis di mana manusia hanya bisa memahami dunia dengan cara mempersamakannya dengan hal yang ia pahami, dengan simbol-simbol yang ia ciptakan sendiri atau dengan hal yang bukan dunia itu sendiri. Kesimpulannya, segala bentuk wacana kebahasaan manusia, termasuk wacana filsafat dengan sendirinya bersifat metaforis. Sebagai pusat linguistik, metafor dengan sendirinya memiliki status ontologis, sehingga ia dapat dianggap sebagai kerangka dasar untuk memahami realitas dasar manusia. Sudut pandang yang baru tentang filsafat, rasionalitas dan kebenaran menggunakan konsep “tegangan” (tension). Gagasan Pucoeurbtentanng “Acuan yang terbelah” (Split Reference) telah membawanya ke konsep tentang “kebenaran yang bertegangan” (Tensional Truth).
Metafor, menurut I. Bambang Sugiharto menunjuk pada suatu realitas karena metafor memiliki “makna” atau “referennya” adalah kenyataan “konvensional” yang berarti realitasyang kita dapatkan dari kata-kata. Kenapa? Karena metafor metafor baru dapat diketahui maknanya setelah diletelarkan. Sehingga, dapat diketahui maknanya setelah dileteralkan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa literal berasal dari metafor. Di sisi lain metafor dihubungkan dengan imajinasi, yang merupakan sumber dari metafor. Imajinasi yang bermetafor akan mengajak kita untuk memandang sesuatu secara baru (hal. 20). Dan imajinasi merupakan akar persepsi yang melahirkan rasionalitas.
Pendek kata, penulis buku ini mencoba memberi alternatif baru untuk mengatasi krisis filsafat yang mendapat kecaman dari sana-sini. Ia menganggap bahwa dengan menggunakan hermeneutika sebagai cara pandang baru dapat mendekonstruksi makna dari teks-teks filsafat untuk merumuskan kembali hakikat, posisi filsafat, rasionalitas dan kebenaran. Dengan menggunakan metafor sebagai paradigma, ia melihat permasalahan Postmodern denagn konsep “filsafat,” “rasionalitas” dan “kebenaran” sebagai karakter tensional.
Kelebihan dari buku ini adalah penyusunannya yang disusun secara sistematis. Pertama kali, pembaca akan masuk ke dalam pengertian Postmodernisme secara umum. Lalu, mata kita akan terbuka oleh persoalan dan kelemahan filsafat yang dikuak oleh kaum postmodernisme. Walaupun bahasa yang digunakan sedikit berbelit-belit dan berputar-putar, namun secara keseluruhan buku ini dapat membawa kesegaran dan membuka wacana baru dalam bidang filsafat.
dikutip dari : http://kalabulanpenuh.multiply.com/reviews/item/2